Img 20250312 Wa0059
Img 20250312 Wa0059
Img 20250312 Wa0060
Img 20250312 Wa0060
Img 20250227 Wa0088
Img 20250227 Wa0088
Img 20250228 wa0013
Img 20250228 wa0013
IMG-20250312-WA0059
IMG-20250312-WA0060
IMG-20250227-WA0088
IMG-20250228-WA0013
previous arrow
next arrow

Membaca Ulang Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang…

redaksi
8d2eb46f 1ff1 444f A489 2245cc32d098

Penulis: Satyagraha

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu 

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang 
Biar peluru menembus kulitku 
Aku tetap meradang menerjang 

………….
…………….
……………….

Puisi pertama dalam buku “Aku Ini Binatang Jalang” Oktober 1942 berjudul Nisan. Puisi ini mengisahkan Chairil Anwar ketika kematian merenggut nyawa sang nenek. Chairil tertegun melihat kenyataan itu. Dalam larik pertama “Bukan kematian benar menusuk kalbu” menggambarkan bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti dihadapi oleh setiap yang hidup, datang dan mendekat kepada kita atau pada orang yang dekat dengan kita. Chairil menggambarkan sekujur sosok yang begitu tenang atau barangkali dapat dikatakan tidak berdaya. Sementara sang nasib, begitu dingin tanpa belas kasihan, perlahan-lahan menyerut umur sang pemilik.

Kematian membuat Chairil melihat dua hal. Pertama, betapa tak berdayanya manusia menghadapi sang maut. Kedua, betapa angkuhnya sang maut melaksanakan tugas yang bekerja tanpa mau berkompromi. Sehingga Chairil berkata tentangnya dalam bait “Tak kutahu setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertakhta”.

“Aku” karya Chairil Anwar tersebut, yang diturunkan dari masa ke masa, menjadi salah satu contoh puisi yang wajib dipelajari, bahkan dihafalkan oleh para siswa di tingkat sekolah dasar.

Namun, seberapa kenal kita dengan puisi-puisi Chairil? Apakah puisi “Aku” hadir sebatas untuk dihafal tanpa didalami, dan masih relevankah karya-karyanya di masa kini?

Hari Puisi Nasional, 28 April, yang diperingati tiap tahun untuk mengenang wafatnya penyair kebanggaan Indonesia itu, karyanya tetap hidup dan relevan hingga kini.

Semua puisi Chairil itu bisa dibaca dan ‘dikunyah’ dengan pemikiran hari ini, padahal itu ditulis di tahun 1942, istilahnya negara kita aja belum jadi, tetapi bisa kita maknai sampai sekarang.

Contohnya pada pusi lainnya “Pemberian Tahu”. Salah satu bait yang juga memiliki kedqlaman mqkna dalam puisi tersebut berbunyi, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.”

Kekuatan dalam bait itu sungguh melintasi zaman. Justru bisa dimaknai dengan semangat kekinian. Setiap karya apabila dibuat dengan tulus, pasti akan sampai pada tujuannya.

Semangat Chairil yang tidak dalam bentuk teknikal, melainkan dalam bentuk nilai atau value yang lebih besar, bagaimana mendorong karya ini lebih jauh untuk membaca karya ini dan mengenalkan Chairil.

Harus terus dilakukan upaya mengenalkan puisi dan karya-karya Chairil dalam konteks generasi baru. Itu sangat fundamental, karena melalui produk budaya pop kekinian atau pop culture, anak muda akan tertarik mengenal lebih jauh karya Chairil. (*)

*Diolah dari berbagai sumber.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: