HaluaNusantara – Banmus DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menjadi saksi perdebatan hangat soal tata ruang dan pertambangan. Dalam audiensi antara DPRD Babel dan Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat, Wakil Ketua Komisi II DPRD Babel Himmah Olvia menyampaikan kritik tajam terhadap lemahnya posisi pemerintah daerah dalam mengatur wilayahnya sendiri, Selasa (7/10).
Menurut Himmah, kebijakan pusat yang terlalu dominan membuat daerah kehilangan daya kendali dalam hal tata ruang dan izin pertambangan. Kondisi ini, katanya, berujung pada tumpang tindih kebijakan dan munculnya izin usaha pertambangan di kawasan yang seharusnya menjadi permukiman.
“RDTR itu sudah sangat detail, kita bicara RDTR Kabupaten Bangka. Tapi ketika kita minta data ke Pemda, ternyata di dalam zona pemukiman ada IUP pertambangan. Padahal seharusnya itu ranah tata ruang di bawah PU,” ujar Himmah.
Himmah menambahkan, lemahnya posisi daerah semakin terlihat saat banyak izin pertambangan diperpanjang tanpa koordinasi dengan pemerintah provinsi.
“Kita sama-sama paham, 90 persen daratan ini itu IUP PT Timah tadinya. Jadi ketika tiba-tiba ada perpanjangan izin tanpa sepengetahuan daerah, di situlah kelemahannya,” jelasnya.
Himmah menilai, keputusan yang diambil sepihak oleh pemerintah pusat maupun perusahaan besar kerap mengabaikan produk hukum daerah. Ia mencontohkan, sejumlah kawasan di Bangka Belitung yang secara tata ruang diperuntukkan bagi permukiman justru masuk dalam wilayah pertambangan.
“Mohon maaf, produk perda kita hari ini seperti RDTR kok malah kalah sama keputusan sepihak PT Timah atau perusahaan swasta lain yang bisa memperpanjang IUP tanpa diketahui daerah,” kata Himmah.
“Contohnya, di Petahbumi ku, Alexander, di simpang empat Kantor Gubernur kita, di belakang itu ternyata masuk IUP PT Timah, dan tak ada yang tahu,” tambahnya.
Rasa frustrasi juga disampaikan Himmah terhadap sistem kewenangan yang serba terpusat. Ia mengaku DPRD sudah berulang kali berkoordinasi dengan kementerian, namun hasilnya belum berpihak pada daerah.
“Kami sudah bolak-balik ke kementerian, habis APBD untuk urusan itu. Tapi semua kewenangan hari ini ada di pusat,” ujarnya.
Himmah menegaskan, jika kewenangan pengelolaan ruang dan izin dikembalikan ke daerah, maka persoalan tumpang tindih antara tambang dan ruang hidup masyarakat bisa diselesaikan lebih cepat oleh Gubernur dan DPRD Babel.
Lebih jauh, Himmah menyebut Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai simbol kehormatan daerah yang kini diabaikan.
“RZWP3K itu mahkota kita. Tapi hari ini mohon maaf, perda kita diinjak-injak oleh pusat. Dilangkahi, bahkan saya bilang diperkosa. Ini fakta yang harus kita akui,” tegasnya, seraya menyerahkan atas tindak lanjut persoalan ini kepada pimpinan DPRD dan Gubernur Bangka Belitung, dengan mengingatkan bahwa marwah daerah tidak boleh dibiarkan hilang di atas tumpukan izin tambang.








