HaluaNusantara – DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama APDESI dan ABPEDNAS Kabupaten Bangka Barat untuk menindaklanjuti persoalan kewajiban kebun plasma dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) enam perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah Bangka Barat, Senin (24/11).
Rapat tersebut digelar menyusul surat yang disampaikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan para kepala desa. Sebanyak 25 desa hadir mempertanyakan komitmen perusahaan perkebunan terhadap realisasi kebun plasma serta pelaksanaan program CSR.
“Dengan total HGU sekitar 30 ribu hektare, kewajiban plasma mencapai hampir 7.000 hektare. Namun hingga saat ini, baru terealisasi sekitar 1.311 hektare atau 5,4 persen. Ini jauh dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Ketahanan Pangan Nomor 98 Tahun 2013,” ujar Didit.
Ia menjelaskan bahwa kebun plasma wajib dilaksanakan di luar kawasan HGU. Jika masyarakat tidak memiliki lahan, perusahaan dapat melakukan konversi melalui mekanisme Nilai Obyek Pengganti (NOP) yang nilainya dihitung oleh tim independen.
“Nanti tim independen menghitung berapa nilai per hektare, apakah Rp30 juta atau berapa pun. Kepala desa dan pemerintah desa yang akan menyalurkan. Prinsipnya, kewajiban ini mutlak dan ada sanksi jika tidak dilaksanakan,” tegasnya.
Dalam RDP ini, seluruh anggota DPRD dari daerah pemilihan Bangka Barat mengusulkan pembentukan panitia kerja (panja) untuk menangani persoalan plasma dan CSR perusahaan sawit. Usulan tersebut akan disampaikan dalam rapat Badan Musyawarah DPRD.
“Mudah-mudahan bisa disetujui agar panja dapat dibentuk. Namun sebelum itu, kami berharap perusahaan sawit melakukan koreksi dan berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk memenuhi kewajiban plasma sesuai Permentan 98/2013 serta menjalankan CSR sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2012,” tutup Didit. **








